Durasi Waktu Baca : 2 Menit Jakarta, Pendidikan Inklusi Cikal. Persepsi dan pandangan masyarakat mengenai autisme di ruang publik masih seringkali memaknai autisme sebagai sebuah penyakit. Namun, faktanya, menurut Psikolog Vitriani Sumarlis, M.Psi, Wakil Kepala Kurikulum Pendidikan Inklusi Cikal, autisme bukan sebuah penyakit melainkan sebuah gangguan neurologis yang memengaruhi 3 area perkembangan manusia, komunikasi, interaksi sosial, perilaku. Seperti apa penjelasan lengkap dari Psikolog Vitriani? Simak di bawah ini. Sebagai Psikolog anak yang aktif bergerak di Pendidikan Inklusif, Vitri menegaskan bahwa autisme atau autistik bukanlah penyakit melainkan sebuah kondisi yang memang telah terbawa dalam seorang individu. “Autis bukan penyakit, tapi itu adalah satu kondisi yang memang sudah terbawa di dalam diri seorang individu dan itu menempel, jadi masuknya seumur hidup. Austime bukan penyakit yang bisa disembuhkan, tetapi sebuah kondisi yang dapat dibuat menjadi adaptif.” jelasnya. Ia menambahkan bahwa secara penjelasan psikologis, autisme merupakan gangguan neurologis yang memengaruhi 3 aspek atau area perkembangan diri. “Austime atau Autism Spectrum Disorder itu artinya gangguan yang dasarnya itu dari saraf otak atau neurologis. Dari adanya gangguan neurologis itu terdapat area perkembangan yang terganggu, secara umum ada 3 area besarnya. Pertama itu di area komunikasi, kedua di area interaksi sosial, dan ketiga di perilaku.” ucap Vitri. Baca juga : Autisme : Pengertian, Ciri-Ciri, dan Waktu Tepat Deteksi Autisme Dalam langkah membuat kondisi anak dengan autisme menjadi lebih adaptif, Vitriani menyebutkan terdapat 3 cara, pertama screening anak dengan autisme sejak dini, adanya kolaborasi yang baik antara orang tua, sekolah, dan anak, dan melakukan terapi. Vitri menyebutkan bahwa pendampingan anak dengan autisme dapat dimulai dari Screening Dini agar mendapatkan diagnosis tepat sejak dini, bahkan dari bayi, dan penanganan yang tepat dan akurat. “Pendampingan anak dengan autisme itu memang harus konsisten, Kuncinya itu mendapatkan diagnosis tepat, dan penanganannya atau pendampingan yang akurat. Untuk Screening itu sebaknya sejak dini, jadi as soon as, dini bahkan dari bayi, karena sebenarnya sudah bisa kelihatan, misalnya dari sisi sensorik anak itu hipersensitif (terlalu sensitif) atau hiposensitif (tidak sensitif).” ucapnya. Tak hanya itu, orang tua pun diarahkan untuk kolaboratif dan kooperatif dalam mendampingi anak. “Sebaiknya orang tua sudah kolaboratif dari awal sehingga proses pendampingan anak akan makin baik. Kolaboratif itu artinya anak ada terapi, lalu, ketika melihat anak butuh, sekolah, orang tua, guru di sekolah dan tempat terapi bisa bekerjasama, gitu.” tambahnya. Vitri menyebutkan bahwa dalam beberapa kondisi, gangguan perkembangan autisme itu tergantung dengan area spektrumnya. Beberapa kondisi yang Vitri sebutkan dan eratkan dengan terapi antara lain sebagai berikut: Terapi bahasa dapat dilakukan apabila anak dapat memproduksi bunyi dan kata, namun ia tidak memahami apa yang ia ucapkan. Terapi sensorik dapat dilakukan apabila anak masih perlu pendampingan seperti tidak nyaman di tempat ramai. Terapi sensorik ini erat dengan aspek sensorik manusia, baik itu pendengaran, pengelihatan, perasa, dan peraba. Terapi perilaku ini dapat dilakukan untuk membuat anak dengan autisme terbiasa dengan aturan atau aktivitas yang terstruktur. Tanyakan informasi mengenai pendaftaran, program hingga kurikulum Cikal melalui Whatsapp berikut :+62 811-1051-1178 Artikel ini ditulis dan dipublikasikan oleh Tim Digital Cikal Narasumber : Psikolog Vitriani Sumarlis, M.Psi, Wakil Kepala Kurikulum Pendidikan Inklusi Cikal Editor : Layla Ali Umar Penulis : Salsabila FitrianaAutisme Bukan Penyakit Tapi Sebuah Kondisi Individu
Cara Dorong Anak dengan Autisme Tumbuh Adaptif
Pertama, Screening Anak dengan Autisme Sejak Dini
Kedua, Proses Pendampingan Orang tua yang Kolaboratif
Ketiga, Mengikutsertakan Anak di Kegiatan Terapi
Terapi Wicara
Terapi Sensorik
Terapi Perilaku (Behaviour Therapy)
Informasi Cikal Support Center