KOMPAS.com - Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk mencegah kekerasan terhadap siswa di satuan pendidikan. Dalam hal ini kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang menjadikan anak atau siswa sebagai korbannya. Dilansir dari laman KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Selasa (8/10/2024), data kasus kekerasan terhadap anak adalah sebanyak 1.478 kasus (data Pusdatin KPAI per Oktober 2023). Dari data tersebut, rincian kasus terbanyak adalah anak korban kejahatan seksual sebanyak 615 kasus. Kemudian anak korban kekerasan fisik/psikis sebanyak 303 kasus, anak berkonflik hukum sebanyak 126 kasus, anak korban eksploitasi ekonomi/seksual sebanyak 55 kasus. Serta anak korban eksploitasi ekonomi/seksual sebanyak 55 kasus. Sedangkan sepanjang Januari sampai dengan Desember 2022, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatatkan jumlah perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya dan ditangani adalah sebesar 32.687 dengan rincian 25.053 korban (Simfoni PPA). Angka ini tentu menjadi keprihatinan banyak pihak karena masih banyak anak yang harus mengalami kekerasan seksual di usia yang masih sangat belia. Pemicu kasus kekerasan seksual meningkat dari sisi psikologis Psikolog Tari menyebutkan bahwa dari sisi psikologis terdapat tiga pemicu utama yang membuat hal ini terjadi dan meningkat. Antara lain sebagai berikut: 1. Kurangnya percakapan orangtua dengan anak di fase remaja Dalam parenting remaja, Tari menegaskan pentingnya kehadiran dan kelekatan keluarga dan keterbukaan orangtua untuk secara terbuka membangun percakapan tentang seksualitas terhadap anak-anak mereka. Namun, sayangnya, di masa kini, banyak orangtua yang cenderung menganggap parenting remaja tidak sepenting fase tumbuh kembang sebelumnya. "Kelekatan keluarga di paling awal adalah faktor penting. Namun, sayangnya kecenderungannya kini para orangtua merasa bahwa parenting teens jadi tidak sepenting parenting untuk anak-anak di usia sebelumnya," terang Tari dalam keterangan tertulisnya. Salah satu bentuk kurangnya kehadiran dan peranan keterbukaan orangtua adalah merasa hanya perlu mendoakan anak dan menunda-nunda pembahasan yang penting seperti halnya tentang seksualitas. 2. Gawai dan informasi tanpa batas jadi jalan remaja penuhi jawaban Dengan sikap orangtua yang demikian, Tari menerangkan, dari hal tersebut, anak-anak remaja pun terdorong berusaha untuk mencari tahu apa yang ingin mereka tahu melalui teknologi dan membangun percakapan dengan orang asing. Menurut dia, dengan situasi zaman di mana teknologi jadi nafasnya semua orang. Tentunya anak remaja jadi beralih mencari panduan lewat gawai yang ada di tangannya. "Namanya ingin tau, tentu dari sekedar cari informasi tentang seksualitas, eksplorasinya bisa ke mana-mana. Namanya butuh percakapan dan tidak didapat di rumah, tentunya dia cari percakapan lain lewat gawai dengan orang asing atau siapapun," tegasnya. Kondisi yang terjadi di kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di bawah umur inilah menjadi bukti paparan informasi seksualitas dari sumber yang tidak tepat dan tidak adanya kehadiran keluarga yang seharusnya menjadi ruang percakapan pertama di rumah. 3. Empati yang mati dorong lakukan kekerasan Selain dua faktor pemicu di atas, Tari menekankan, sejatinya kondisi ekonomi juga menjadi hal yang erat kaitannya dengan kondisi psikologis dari suatu sebuah keluarga. Artinya, kerasnya hidup berdampak pada kemampuan regulasi dan rasa empati anak. "Situasi di atas (yang saya gambarkan) bisa bertambah lagi faktornya untuk keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah," jelas dia. Bagi sebagian dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kerasnya hidup dihadapi dengan mengeraskan diri serta mematikan empati. Sehingga banyak anak muda dalam tingkat sosial ekonomi sulit punya kemarahan dan melampiaskan ke orang lain juga dengan kekerasan. Tari menjelaskan bahwa pada akhirnya tidak mudah untuk dapat memetakan pemicu mana yang bisa diperbaiki. Namun, semua pihak harus bergerak melakukan pencegahan dengan memperbaiki hubungan dan kelekatan dengan anak-anak yang beranjak remaja. “Jadi pada akhirnya, tidak semudah itu memang menjawab yang mana duluan yang harus dibenarkan. Kalau masih punya privilege untuk melakukan pencegahan, as cliche as we always hear (klise seperti kita selalu mendengar). Maka mari perbaiki hubungan dengan remaja. Ngobrol lebih sering (ngobrol ya, bukan ngomong, kalo ngobrol itu ada faktor mendengarkan) dan melakukan observasi lebih banyak untuk liat perubahan perilaku atau emosi atau indikator lainnya," pungkas Tari.